Rabu, 15 Agustus 2012
Cerita Rakyat “Si Pitung”: Pada jaman penjajahan belanda dahulu, di daerah Jakarta (dahulu Batavia) hiduplah seorang pria gagah yang bernama si Pitung. Dia lahir dari pasangan suami istri yang bernama pak Piun dan bu Pinah. Pekerjaan pak Piun sehari-hari adalah bertani.
Setiap hari si Pitung membantu bapaknya menanam padi, memetik kelapa dan mencari rumput untuk pakan ternaknya. Si Pitung juga tak segan untuk membantu tetangganya yang memerlukan bantuan. Tiap hari si Pitung juga sangat rajin menunaikan sholat dan puasa, bapaknya juga selalu mengajarkan si Pitung untuk bertutur kata yang santun, dan patuh kepada orang tua.
Si Pitung dan keluarganya tinggal di kampung Rawabelong, daerah kebayoran. Daerah itu adalah bagian dari daerah kekuasaan tuan tanah yang bernama babah Liem Tjeng Soen,oleh karena itu semua warga yang tinggal di situ wajib membayar pajak kepada babah Liem. Hasil pajak tanah tersebut nantinya akan disetorkan kepada Belanda.
Dalam memungut pajak, babah Liem dibantu oleh anak buahnya yang berasal dari kalangan pribumi. Anak buah yang diangkat babah Liem adalah kaum pribumi yang pandai bersilat dan memainkan senjata. Tujuannya adalah supaya para penduduk tidak berani melawan dan membantah pada saat dipungut pajak.
Hingga pada suatu hari, saat si Pitung membantu bapaknya mengumpulkan hasil panen dari sawah. Sesampainya di rumah, betapa terkejutnya si Pitung melihat anak buah babah Liem sedang marah-marah kepada bapaknya. Si Pitung lalu menghampiri bapaknya, dan bertanya kepada anak buah babah Liem, “Hey, apa salah bapak saya?” “Tanya saja sama bapakmu ini!!”, jawab anak buah babah Liem.
Anak buah babah Liem lalu pergi dengan membawa semua hasil panen yang telah dikumpulakan si Pitung dan bapaknya. Dengan nada geram, si Pitung berbicara dalam hatinya, “Nantikan pembalasanku!!”
Hingga keesokan harinya saat si Pitung berjalan menyusuri kampung, dia melihat kesewenang-wenangan anak buah babah Liem lagi. Mereka merampas ayam, kambing, kelapa, dan padi dari penduduk, tanpa rasa iba.
Sebagai warga yang merasa bertanggung jawab atas keamanan, maka si Pitung tidak tinggal diam. Si Pitung lalu menghampiri anak buah babah Liem, lalu berteriak “Hentikan pengecut!! Kenapa kalian merampas harta orang lain?!”
Para anak buah babah Liem kemudian menoleh kearah si Pitung. “Siapa kamu ini, berani-beraninya mencegah kami? Kamu tidak tahu siapa kami ini?”,teriak anak buah babah Liem.
“Saya tidak peduli siapa kalian, tapi perbuatan kalian itu sangatlah kejam dan tidak berperi kemanusiaan!”, jawab si Pitung.
Mendengar perkataan si Pitung, pemimpin anak buah babah Liem menjadi geram. Ia lalu menghampiri si Pitung, dan menyerang sekenanya saja. Ia mengira bahwa Pitung akan mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal lengannya dan membantingnya ke tanah hingga pingsan. Anak buah babah Liem yang lain menghentikan kesibukan mereka dan mengepung Pitung. Dengan sigap Pitung menyerang lebih dulu. Ada lima orang yang mengeroyoknya. Satu demi satu ia hajar pelipis atau tulang kering mereka hingga mereka mengaduh kesakitan. Lalu mereka menggotong pimpinan centeng yang masih pingsan dan melarikan diri.
Sebelum pergi, mereka mengancam: “Awas, nanti kami laporkan Demang.”
Beberapa hari setelah peristiwa itu, nama Pitung menjadi pembicaraan di seluruh Kebayoran. Namun, Pitung tak gentar dan tetap bersikap tenang. Ia bahkan tidak menghindar kalau ada orang yang bertanya kepadanya tentang kejadian itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar